Monday, April 18, 2011

INTI DAKWAH PARA RASUL




Hadis Nabi
"Tauhid, inti dakwah para Rasul”
Ust. Abu Hamzah (murid syaikh Muqbil bin Hadi Al Wad’I Yaman)

“Dan sesungguhnya telah Kami utus seorang rasul pada setiap ummat agar
mereka menyeru, ‘Beribadahlah kalian semua kepada Allah dan jauhilah
thaghut’.” (An-Nahl : 36).

“Dan tidaklah Kami utus seorang rasul sebelum kamu (Muhammad), kecuali
telah Kami wahyukan kepadanya bahwa sesungguhnya tiada ilah kecuali
Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’ : 25).

Telah berlalu zaman para rasul, dan telah turun syariat mereka untuk
kaum-kaum mereka. Begitu pula telah ditetapkan inti ajaran dan dakwah
dari rasul kita, yaitu Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam. Para rasul
adalah orang-orang yang terpilih untuk menyampaikan risalah yang agung
ini. Tidaklah Allah ta’ala mengutus dan memberikan amanah ini kepada
seseorang kecuali pasti dan pasti Allah ta’ala mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Allah ‘azza wa jalla juga tidak akan menciptakan manusia
begitu saja, ditelantarkan dan dibiarkan hidup tanpa tujuan. Hal ini
sebagaimana firman Allah ta’ala :

“Apakah manusia mengira bahwa mereka ditelantarkan dan didiamkan saja ?”
(Al-Qiyamah : 36).

Imam Syafi’i menafsirkan ayat ini, “Tidak dilarang dan tidak diperintah ?”
(Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)

Akan tetapi Allah berfirman : “Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)

Setelah kita dapat mengetahui tujuan Allah menciptakan kita, maka akan
jelaslah apa tujuan dakwah para rasul bagi setiap umatnya, karena yang
menjadi tujuan Allah pastilah juga menjadi tujuan para utusan-Nya.
Tujuan dakwah para rasul tidak lain adalah makna dari ayat yang telah
tertulis di awal risalah ini (An-Nahl : 36). Adapun makna dari ayat
tersebut, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Sesungguhnya Dia
telah mengutus seorang rasul kepada setiap kelompok manusia dengan
kalimat yang tinggi, ‘beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut’,
yang artinya adalah beribadahlah kalian hanya kepada Allah semata dan
tinggalkan peribadatan kepada selain-Nya.”



Adapun makna thaghut, Ibnul Qayyim berkata, “Thaghut adalah suatu
keadaan yang melebihi batasan-batasan seorang hamba, seperti diibadahi,
diikuti atau ditaaati (dalam hal yang melanggar syariat).”

Maka Ibnul Qayyim membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :

1. Orang yag berhukum selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur’an
dan as-Sunnah).
2. Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.
3. Orang yang diikuti, tetapi dia tidak berada di atas bashirah (ilmu)
dari Allah dan diapun redo.
4. Orang yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara
tersebut hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam
keadaan ridlo. (Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid)

Sungguh para rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu tauhid
ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad salallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di
Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah. Perjalanan
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan betapa besarnya perkara
tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata,
“Dan perkara yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah Tauhid yang
artinya mengesakan Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang
paling besar adalah Syirik yang artinya beribadah kepada Allah tetapi
disertai juga beribadah kepada selain-Nya.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad
at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin).

Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya : “Beribadahlah hanya kepada
Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”
(An-Nisa : 36)

Ibnul Qayyim pun berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan
bangunannya, maka wajib bagi dia untuk memperkuat asasnya, karena tingginya
bangunan itu ditentukan oleh kekuatan asasnya. Amal shalih merupakan cermin
dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai asasnya. Tentu seorang
yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada asasnya dan
berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang bodoh akan berusaha
untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti
akan runtuh.” (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik
Ahmad Ar-Ramadhany)

Perkataan Ibnul Qayyim ini merupakan perkataan yang sangat indah.
Perkataan yang menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan
keutamaan di sisi Allah jalla jalaluh. Dengan tauhid maka akan menimbulkan
keyakinan di hati seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini
dengan sungguh-sungguh, dia tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang
disekitarnya yang akan memesongkan dia dari jalan yang lurus. Jika ada
suatu hal yang sesuai dengan syariat, maka akan dipegang erat-erat, jika
tidak, maka akan dijauhi sejauh-jauhnya. Itulah hasil yang didapat dari
asas yang kuat atau tauhid yang mantap. Akan tetapi sungguh telah
banyak manusia yang melalaikannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan
banyak yang mengatakan, “Untuk memajukan umat ini kita harus
memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak
tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya
permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa barat”.
Subhanallah …… !!! Maka tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang
ditokohkan, berbicara di atas panggung, maka mereka akan mengambil tema
“Teknologi Islam”, “Ekonomi Islam”, dan mengenyampingkan permasalahan
tauhid. Jika ada yang mengambil tema “Tauhid yang benar”, “Aqidah yang
lurus”, “Keutamaan Tauhid”, maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan
jaman, padahal untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan
kekokohan pondasi yaitu kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, jika tidak, maka, demi Allah, hancurlah
bangunan mereka.

Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia : “Allah telah menjanjikan
bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih diantara kalian untuk
menjadikan mereka pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah
telah jadikan pendahulu kalian sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan
menetapkan agama yang diridloi-Nya untuk mereka, dan sungguh Allah akan
menggantikan rasa takut menjadi rasa aman bagi mereka. Yang demikian itu
akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku dan tidak berbuat syirik
dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang kufur setelah itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (An-Nur : 55). Ayat di atas
menjelaskan kepada kita, bahwa akan tercapainya kepemimpinan di muka bumi,
ketetapan agama dan ketenangan hidup adalah hanya dengan mengamalkan
tauhid, yaitu hanya beribadah kepada-Nya, dan meninggalkan syirik, yaitu
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya.
Ini adalah janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan
tetapi jika kita mengingkari hal tersebut, melaksanakan tauhid dan
meninggalkan syirik, maka Allah ta’ala akan memasukkan kita ke dalam
golongan orang-orang fasiq.

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas, bagaimanakah kita ? Apa
yang akan kita utamakan setelah ini, tauhid atau yang lainnya ? Dengan
apakah kita akan mendapatkan kejayaan, dengan tauhid atau dengan yang lain
Sungguh jawabannya hanya berkisar pada satu titik, yaitu inti dari dakwah para rasul, yaitu mengetahui dan mengamalkan tauhid dan meninggalkan syirik. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dan bukan musyrikin, Amiin yaRabbalAlamin. Wallahu A’lamu Bishshawab

No comments:

Post a Comment